Senin, 05 Mei 2008

Tinjauan


Menyoal Kekerasan Pada Anak

Hak Anak & Kewajiban Negara


Kasus-kasus yang menimpa pada anak-anak karena tindakan kekerasan baik itu dilakukan dilingkungan keluarga misalkan orang tua, maupun yang dilkukan oleh masyarakat bahkan negara telah menjadi sebuah realitas sosial. Ada orangtua yang menyetrika kaki, menyiram dengan air panas, pemerkosaan terhadap anak kandung atau anak tiri oleh sang bapak dan juga pemukulan dan bahkan pembunuhan. Itu baru kekerasan fisik yang berakibat pada trauma berat pada sang anak.

Ada juga dalam bentuk non-fisik seperti kurangnya perhatian dan kasih sayang, memarahi anak hampir setiap saat, mengkomersialkan anak sebagai pelacur, sebagai pengamen jalanan, dan diusir keluar rumah. dsb. Latar belakang kekerasan bermacam-macam, ada yang menyebutkan si anak memang bandel atau susah diatur, pola asuh yang salah, pelampiasan emosi orang tua akibat himpitan ekonomi, dan karena tidak sadar ketika melakukan kekerasan. Namun bukan berarti pada keluarga yang tergolong ekonomi kuat tidak terjadi kekerasan pada anak.

Semua di atas ditinjau dari sisi mikro keluarga. Dari sisi makro, kondisi kemorosotan sosial ekonomi, lemahnya penegakkan hukum, seringnya tayangan dan tampilan media tentang kekerasan dan seks, degradasi moral kolektif di kalangan ‘tokoh’ masyarakat dan pemimpin bangsa, pola pendidikan yang mensakralkan kecerdasan intelektual semata, dan kurangnya sosialisasi penumbuhan rasa kasih sayang sesama dan perdamaian, ikut memicu terjadinya kekerasan pada anak.

Kemudian apa yang harus kita lakukan dalam rangka menekan angka kekerasan pada anak!? Tentunya kita harus tahu dan paham tentang hukum yang mengatur perlindungan anak, yang didalamnya menjelskan hak-hak yang dimiliki oleh anak. Dan beriukutnya adalah menanamkan kesadaran pada diri kita semua untuk bahwa anak adalah adalah amanah dari Allah SWT yang nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya, yakni bagaimana merawatnya, agamanya/akhlaknya, pendidikannya dan masa depannya.[rat]

Tinjauan

80 Persen Kekerasan Anak Dilakukan Orang Terdekat

Ditulis Tempo Interaktif (19 Nopember 2007) dalam beritanya menyebutkan 80 persen kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat. Hal tersebut menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia F Hatta disebabkan karena kultur yang berkembang di masyarakat, yakni anggapan bahwa anak adalah sumber eksploitasi ekonomi dan tenaga.

Oleh karena itu yang mesti dilakukan adalah pentingnya perubahan kultur dan cara pandang masyarakat untuk mengurangi terjadinya kekerasan pada anak-anak. Peran tokoh masyarakat, agama, dan adat sangat besar dalam merubah kultur yang ada di masyarakat.

Berdasarkan data yang dilansir oleh Survei Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, BPS tahun 2006 dalam Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia menyebutkan beberapa kasus yang menimpa anak Indonesia yang menduduki jumlah paling banyak adalah peristiwa pernah mengalami pelecehan yakni yang terbesar pada kelompok umur 15-19 sebesar 20.107 orang, pada kelompok umur 0-4 tahun sebesar 24.277 orang, kelompok umur 5-9 tahun sebesar 27.399 dan pada kelomopk umur 10-14 tahun sebesar 27.594 orang.

Untuk peristiwa anak yang pernah mengalami penganiayaan yang terbesar pada kelompok umur 5 - 9 tahun yakni sebesar 667 orang dan kelompok umur 10-14 tahun sebesar 642 orang, sedangkan pada kelompuk umur 0-4 tahun sebesar 252 orang dan pada kelompok umur 15-19 sebesar 278 orang.

Sedangkan korban tindakan kekerasan pada anak pada kelompok umur 10-14 tahun menduduki jumlah yang terbayak yakni sebesar 1.146 orang, pada kelompok umur 0-4 tahun sebesar 400 0rang, pada kelomopk umur 5-9 tahun sebesar 1.025 orang dan pada kelomopk umur 15-19 tahun sebesar 719 orang.

Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Di Indonesia, prevalensi pelacuran anak dibawah 18 tahun diduga mencapai 30 persen dari seluruh pekerja seks komersil yang beroperasi di seluruh wilayah negeri (UNICEF, 1999:102). Ini berarti mencapai angka 40.000-70.000 anak atau bahkan mencapai lebih dari 150.000 anak (1997).

Beberapa daerah di Indonesia dikategorikan menjadi daerah sumber, daerah transit, dan daerah penerima anak-anak yang dilacurkan. Di Jawa Barat, anak-anak yang dilacurkan kebanyakan berasal dari daerah Indramayu, Subang, Cirebon, Banten, Karawang, Cianjur, Sukabumi, Kuningan, dan Bandung (ILO, 2004). Anak-anak tersebut dilacurkan di lokalisasi pelacuran di sepanjang jalur pantai utara Jawa yang terbentang dari Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, hingga Cirebon. Pada tahun 2003, jumlah pelacur di Jawa Barat sebanyak 22.380 orang. Dari jumlah tersebut diperkirakan anak yang dilacurkan mencapai 9.000 orang yang berusia antara 14 - 18 tahun.

Data lain yang terkait dengan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) adalah kasus pedofilia. Pada tahun bulan Mei - Juli 2005, ditemukan 173 anak yang menjadi korban pedofilia di provinsi Nusa Tenggara Barat yang tersebar di daerah Nusadi Praya, Sengigi, Kute, Tiga Gili, dan Senaru. Para pelakunya yang berhasil diidentifikasi berjumlah 17 orang berasal dari Australia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, dan Afrika (Yayasan Tunas Alam Indonesia, 2008).[]


Tulisan ini diambil dari: Tempo Interaktif 19 Nopember 2007 & Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 2008.