Minggu, 16 Maret 2008

Artikel & Kajian

Indonesia Harus Bangkit dari Keterpurukan
Memprioritaskan Pembangunan SDM

UUD 1945 menyatakan bahwa negara bertanggung jawab mencerdaskan di setiap kehidupan bangsa, hal ini artinya negara wajib menyelenggarakan sistem pendidikan bagi setiap warga negaranya secara menyeluruh baik di kota maupun daerah, mulai dari tingkat dasar, menengah, atas hingga pendidikan tinggi.

Kewajiban melaksanakan sistem pendidikan (atau dengan kata lain menuntut ilmu) tidak hanya berdasarkan UUD 1945 saja, agama pun mewajibkannya, bahkan bagi setiap umat manusia mulai dari lahir sampai akhir hidupnya. Rosullullah SAW juga memperkuat betapa pentingnya ilmu bagi kehidupan manusia, walaupun harus “ke negeri Cina”, dan kepada siapa pun.

Menuntut ilmu atau yang sering kita sebut dengan sinau (belajar) merupakan pondasi dari setiap aktifitas kehidupan manusia, karena belajar mengandung makan sebuah proses. Proses inilah yang kemudian akan membentuk pola pikir, pola laku dan pola tindak seseorang dalam menjalankan orientasi hidupnya.

Dalam konteks negara, orientasi hidup setiap orang (warga negara) akan menentukan bagaimana penyelenggaraan negara tersebut mengarah pada kebaikan atau keburukan. Artinya disini, setiap kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan penciptaan teknologi (Iptek) akan memberikan landasan kuat bagi negara yang ingin maju, dapat menjawab tantangan peradaban kedepan.

Terbukti Jepang, setelah Perang Dunia II (pengeboman atom Hirosima-Nagasaki) bangkit dengan pengembangan kualitas SDM melalui penguasaan Iptek, begitu juga dengan negara-negara lain di Eropa seperti Jerman, bahkan Iran dan Cina telah membuktikan dalam penguasaan Iptek memberkan dampak yang besar bagi kehidupan warga negaranya, baik itu dari sisi kesejahtraan ekonomi maupun kekuatan politik.

Hari ini negara-negara Asia pun memprioritaskan pembangunan SDM
dalam penguasaan Iptek untuk mensejahterahkan rakyatnya. Siapa yang tidak kenal dengan pepaya Bangkok, durian Bangkok, ayam Bangkok dan masih banyak lagi, semuanya dari Thailand hasil teknologi pengembangan tanaman buah dan hewan dengan harga relatif terjangkau namun berkualitas. Malaysia, banyaknya waga negara Indonesia yang belajar di perguruan tinggi untuk menempuh gelar master dan doktor, padahal dulu banyak warga Malaysia yang belajar di Indonesia. Yang lebih terbukti lagi India, notabene adalah negara dengan tingkat kemiskinan penduduknya cukup tinggi mampu menguasai Iptek dalam bidang informasi technologi (IT), maka akan dapat dapat diprediksi 20 tahun kedepan India akan dapat berdampingan dengan negara-negara maju lainnya.

Sekarang, bagaimana dengan kita di Indonesia, negara yang masih mencari bentuk tatanan berkenagaraan setelah jatuhnya rezim orde baru (1997) dan krisis multidimensi sehingga menjadi negara yang “penurut”, peminta-minta (utang), negara yang tidak bisa mengelolah kekayaan alamnya sendiri, hutannya dibakar, kayunya dijual bahkan pulaunya pun di curi dan di ambil negara lain. Menyedihkan. Mampukah Indonesia bangkit dan mau merubah semua ini.
Jawabannya adalah harus mau. Tidak ada kata terlambat, mulai hari ini kita setiap warga negara Indonesia harus bangkit melawan keterpurukan ekonomi dengan bekerja keras berusaha disetiap ada peluang usaha. Melawan kebodohan dan bangkit untuk selalu terus belajar. Bangun dan bangkit dari mental penurut menjadi kreatif, dari mental peminta-minta (hutang) menjadi pemberi (mandiri) dari mental malas (mau enaknya sendiri) menajdi giat dan selalu berusaha keras. Artinya kita harus dapat merubah mental-mental yang dapat membawa keterpurukan bangsa ini menjadi bangsa yang berani, tegas dan tidak mengenal kata menyerah. Semoga.[]

Oleh: Ratno Sulistiyanto
Ketua Dewan Pendiri KBB Lentera Zaman & Deputi Bidang Kajian Centre for Indonesian Regional & Urban Studies (CIRUS) Jakarta.

1 komentar:

jayadi mengatakan...

Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Konstitusi menjamin hal ini. Pelanggaran atas konstitusi adalah tindak pidana. Koruptor atas dana pendidikan adalah perbuatan hina, terkutuk dan tak layak mendapat maaf.